#MyCupOfStory - Cafe Pak Agus

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory yang diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Cafe Pak Bagus


Terkadang aku berpikir , apakah segala pilihan yang kuambil dalam hidup ini telah benar atau salah. Telah banyak hal terjadi dalam hidupku ini dan terkadang aku merasa ingin memutar balik waktu untuk membenarkan segala pilihan yang telah salah kubuat. Berawal dari kebencianku terhadap kopi hingga pada akhirnya kopilah yang menuntunku hingga mencapai tahap kehidupan ini. Tapi segala hal yang telah terjadi hanyalah bagian dari sejarah yang telah lampau, sekarang aku hanya dapat terus melangkah maju menapaki tiap hari tuk di lewati menuju masa depan. Memikirkan hal ini membuatku terngiang kembali ke awal dari semua ini terjadi.
Aku terlahir kedalam keluarga pembuat minuman kopi. Ayahku membuka warkop kecil di desa ini sedangkan ibuku telah tiada ketika melahirkanku. Sebagai anak satu-satunya dalam keluarga ini tentu aku harus bisa membanggakan ayahku. Namun terkadang aku merasa sedih dan hanya dapat membayangkan seperti apa rasanya memiliki sosok ibuku. Ayah merupakan seorang yang memiliki disiplin tinggi. Ia mendidikku dengan cukup keras dalam hal apapun. Sejak kecil aku telah di ajarkan berbagai hal tentang kopi mulai dari cara memilih biji kopi yang baik , mengolah biji kopi dengan benar, dan membuatnya menjadi minuman yang nikmat hingga meninggalkan kesan pada penikmatnya. Tapi ini bukan proses yang mudah. Sering kali aku harus di pukul oleh ayah menggunakan rotan karena salah melakukan berbagai hal yang diajarkannya.
Seiring waktu berjalan aku pun mulai semakin dewasa tak terasa sudah berumur 15 tahun. Setiap paginya sebelum ayam berkokok aku harus membantu ayahku mengolah kopi untuk dijual, kantuk sudah menjadi temanku setiap paginya. Meskipun banyak jenis kopi sachet yang beredar, ayah tetap memilih menggunakan cara tradisional yaitu mengolah kopinya sendiri. Kata dirinya agar cita rasa dari kopi di warkopnya dapat terjaga. Warkop ayahku memang selalu ramai di datangi pengunjung. Ketika libur sekolah , aku membantu disana tidak seperti anak seumuranku yang dapat bermain. Pada waktu sore, ayahku menutup warkop kecilnya dan pulang kerumah kami. Jarak antar warkop dan rumah tidaklah begitu jauh hanya sekitar 20m. Setiap harinya aku memasak untuk kami berdua. Sejak aku berumur 10 tahun ini sudah menjadi tugasku. Dengan lauk sederhana seperti tempe dan telur goreng sudah cukup untukku. Selesai makan ayah akan menghitung penghasilannya dari hari itu. Ia selalu memberiku upah layaknya karyawan tapi semua uang yang berikan sebenarnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan sisanya kutabung walau hanya sedikit.
Pada suatu waktu aku pernah meminta hal yang sudah lama ku inginkan.“Ayah , aku kepengen punya sepeda.” Mintaku kepada ayah sembari dirinya masih menghitung uang. “sepeda ? buat apa ?” balas ayahku. “aku selalu hampir terlambat kesekolah, jika ada sepeda pasti akan lebih cepat sampai” aku memberikan alasan yang sebenarnya. Setiap pagi harus bangun membantu ayahku terlebih dahulu setelah itu aku berjalan kaki menempuh jarak 3km. “Ardi, dengar ya.. bapak gak punya uang buat beli sepeda. Kalau cuma telat sedikit bukan masalah. Sudah kembali ke kamarmu belajar sana” ayah menolak permintaanku mentah-mentah. Aku sangat kesal sebenarnya namun tidak berani menjawab karena ayah pasti akan memukuliku. Ayahku sangat keras dalam mengemukakan pendapatnya. Dirinya merupakan orang yang di katakan sebagai keras kepala. Aku hanya dapat masuk ke kamar dan berpikir tentang keluargaku ini. Terpikir dalam kepalaku, bagaimana seandainya aku tidak terlahir di keluarga ini, bagaimana jika seandainya aku masih punya seorang ibu, apakah ini semua terjadi ketika ibu melahirkanku dan ayah membenciku karena sebagai ganti ibu yang harus mengorbankan nyawanya. Segala pikiran itu terus berputar di kepalaku membuat kebencianku semakin menumpuk kepada ayah dan juga kopi , mengingat sejak kecil segala kenangan pahitku selalu berawal dari kopi. Pada akhirnya kebencianku kepada ayah dan kopi meningkat seiring waktu terlewatkan. Aku merasa hidupku begitu pahit sama seperti kopi. Apakah Tuhan dapat di persalahkan untuk hal seperti ini ? tentu aku tidak berani berpikir seperti itu. Yang dapat di persalahkan disini adalah ayahku. Hubungan kami berdua bukanlah hubungan ayah dan anak melainkan hanyalah hubungan mutualisme antara aku dan dirinya.
Semuanya memuncak hingga suatu saat, ketika pagi hari itu aku terlalu mengantuk dan tidak memperhatikan hingga biji kopi yang di sangrai menjadi terlalu gosong. Tanpa berpikir terlalu banyak, aku mengolahnya seperti biasa tanpa merasakan adanya perbedaan karena pada saat itu aku benar-benar mengantuk. Setelah selesai aku pun segera pergi menuju sekolah dengan terburu-buru seperti biasanya.
Hari sudah sore sewaktu aku pulang dari sekolah. Perjalanan yang di tempuh pun cukup jauh karena didesaku belum dibangun sekolah. Meskipun aku lelah tapi tetap aku harus membantu ayahku di warkopnya hingga pukul 9 malam. Walaupun aku membenci ayahku namun hanya dia satu-satunya keluargaku yang tersisa didesa ini. Ayah tidak memiliki saudara sedangkan keluarga dari ibuku jarang mengunjungi kami lagi setelah kepergiannya. Setelah berjalan hingga sampai ke warkop yang terlihat hanyalah pintu kayu yang menutupi gubuk ini. Bingung dengan apa yang terjadi karena ayahku tidak pernah menutup warkop ini lebih awal bahkan ketika dirinya sakit, aku pun segera pulang ke rumah untuk mencarinya. Khawatir akan sesuatu mungkin terjadi padanya, aku mempercepat langkah kakiku hingga berlari. Sayangnya segala kecemasanku harus tergantikan oleh kebencian yang lebih mendalam terhadap ayah. Sesampai di rumah ku lihat ayah duduk di ruang tamu sambil memegang tongkat kayu yang cukup besar. Dia melihat diriku penuh dengan amarah. Belum sempat aku berkata apa-apa, dia bangkit lalu memukuliku dengan tongkat itu begitu kuat hingga patah. Dengan pukulan yang begitu keras aku langsung terjatuh. “ANAKK KURANG AJAR! tidak tahu di untung, beraninya kamu mempermalukan bapakmu ini dengan kopi buatanmu” teriak bapakku sambil menarik kerah bajuku. Pada saat itu aku masih tidak mengerti maksudnya sambil merintih kesakitan aku bertanya kepada ayah “a-apa maksud ayah ? aku cuma membuat kopi seperti biasa”. “seperti biasa , katamu ?? kopi kamu hari ini bau gosong. semua pelanggan bapak mengeluh” balas ayahku. Dirinya melepaskanku dan segera berlari menuju dapur lalu kembali membawa segelas kopi yang masih panas. “kamu cobain sendiri rasanya biar tahu !” dengan paksa ayah membuka mulutku dan menuangkan kopi yang masih panas itu. Aku meronta karena panasnya kopi serta rasa tidak nikmat dari kopi itu sendiri. Begitu pahit serta rasa gosong terasa di dalam mulut. “awas kalau kamu besok buat kopi seperti ini lagi !” ancam ayahku sembari dirinya meninggalkan ruang tamu dan keluar dari rumah. Terbatuk-batuk dan mual karena di paksa minum seperti itu, aku pun segera ke dapur untuk minum air. Lidahku masih terasa seperti terbakar. Segera aku pergi mandi untuk mendinginkan diri dan mengoleskan obat di badanku. Sambil mengoleskan luka memar, pikiranku terus berpikir akan kejadian yang barusan terjadi itu. Semakin aku memikirkannya , hatiku terasa makin sakit hingga tanpa sadar aku meneteskan air mata. Pada saat itu aku membulatkan tekad untuk keluar dari rumah ini serta meninggalkan bapakku. Dengan cepat ku ambil tas dan memasukkan pakaian kedalamnya serta memecahkan celenganku. Aku menuliskan surat untuk ayah agar dirinya tidak perlu mengkhawatirkan anak tidak berguna sepertiku.
Kepada Ayah,
Yah , maafkanlah anakmu ini atas kesalahan yang diperbuatnya pada hari ini. Aku tahu selama ini hanya dapat menjadi beban bagimu. Belum mampu ku membalas segala kebaikanmu. Banyak sekali hal yang telah engkau ajarkan padaku, tapi pada akhirnya aku berakhir menjadi anak yang tidak berguna. Jika ini lebih baik maka sebaiknya Ardi pergi dari hidup ayah. Bukanlah salah ayah jika aku pergi tapi hanyalah keinginanku seorang. Dengan ini , Ardi harap setidaknya ayah tidak terbebani lagi oleh anakmu ini.
Salam, Ardi
Kuletakkan surat diatas meja ruang tamu dan segera bergegas pergi. Aku berlari dengan cepat berusaha menuju keluar desa hanya membawa tas berisi pakaian. Meskipun keadaan sudah mulai malam aku berusaha agar dapat sampai ke jalan utama. Akhirnya setelah berlari bermodalkan senter aku pun sampai di pinggiran jalan utama. Berharap adanya kendaraan yang lewat untuk di tumpangi aku berdiri di tepi jalan kedinginan oleh terpaan angin sejuk malam. Bulan purnama cukup terang pada saat itu sehingga aku tidak perlu menyalakan senterku lagi. Setelah menunggu beberapa saat terlihat sebuah truck lewat. Dengan cepat aku memberi isyarat agar di beri tumpangan, sayangnya truk ini melewatiku begitu saja. Tak lama kemudian terlihat lagi kendaraan angkutan pick up dari jauh. Aku berharap kali ini akan mendapat tumpangan. Pick up itu pun berhenti tepat di depanku dan sopir bertanya “mau kemana kamu dek ?”. Pada akhirnya aku juga belum menentukan tujuanku karena bingung aku pun balik bertanya “bapak mau kemana ?”. “saya mau menuju pelabuhan, jadi kamu mau kemana ?” mendengar jawaban itu, segera aku mengiyakan kalau tujuanku juga sama “oh, kalau begitu saya juga kesana”. Dia memberi isyarat untuk naik. Setelah itu mobil pun kembali melaju. “kamu ada urusan apa di pelabuhan ?” pak sopir itu bertanya. Tentu saja dia akan curiga untuk anak umur 15 tahun berdiri di tepian jalan antar kota pada malam hari mencari tumpangan. Dengan cepat aku menjawab “saya cari kerja, pak” tanpa sempat berpikir. “lalu di mana orang tuamu , dek ?” tanyanya lagi. Termenung sebentar “saya sudah tidak punya orang tua, pak” balasku sambil memikirkan kejadian yang terjadi sebelumnya dengan ayah. “maafkan bapak, nak. Kasihan sekali kamu” sang sopir bersimpati untukku.
Sepanjang perjalanan kami saling bercerita. Bapak itu bernama Wongso, dia merupakan supir yang mengantar berbagai hasil perkebunan. Dirinya cukup ramah bahkan menawarkanku untuk bekerja pada kenalannya di pelabuhan. Tanpa sadar aku tertidur setelah perjalanan cukup panjang. “Dek, bangun. Kamu mau ketemu sama bos gak ?” pak Wongso mengguncang tubuhku. Aku pun terbangun kemudian mengikutinya bertemu seorang ibu. “jadi ini anaknya, pak Wongso ?” ibu itu bertanya sambil melihat ke arahku. Pak Wongso mengiyakan dan menceritakan tentang diriku berdasarkan cerita semalam yang kuceritakan. Ibu itu pun merasa kasihan sehingga aku akhirnya di ijinkan untuk bekerja padanya serta tinggal di rumahnya.
Ibu baik hati yang menolongku bernama Rasti. Ibu Rasti sudah berumur 50-an tahun serta dirinya memiliki usaha yang besar seputar kopi. Mulai dari perkebunan kopi hingga cafe yang tersebar di beberapa kota. Walaupun hanya di ijinkan memakai kamar belakang di rumahnya seperti para pengurus rumah lainnya namun Ibu Rasti tidak memperlakukanku layaknya bawahan tapi lebih seperti anak , setidaknya itu yang kurasakan. Dia sudah tidak memiliki suami dan karena mandul membuatnya tidak dapat memiliki anak. Setiap harinya aku pergi ke perkebunan kopi dengan pak Wongso untuk mengangkut kopi serta mengantarnya ke berbagai tempat. Biji kopi milik perkebunan Bu Rasti sudah tergolong terbaik di kelasnya bahkan biji-biji kopi ini sudah di ekspor ke luar negeri. Bukan hanya itu saja yang kuketahui, perkebunan ini juga membuat kopi luwak yang harganya sangat mahal. Selama aku bekerja di perkebunan banyak hal yang kupelajari yang membuatku tanpa sadar mulai menghilangkan rasa benciku terhadap kopi.
Setelah bekerja selama setahun di tempat ini akhirnya Bu Rasti menempatkanku di tempat lain. Kali ini aku bekerja di salah satu cafenya sebagai asisten Barista. Berbeda dengan peralatan yang kupakai dulu di desa, di cafe ini semuanya telah memakai mesin yang cukup canggih. Pilihannya pun sangat banyak tapi untuk setiap biji kopi yang di gunakan aku telah memahami ciri khas masing-masing karena bekerja setahun di perkebunan membantuku belajar banyak hal. Setiap hari terlewati dengan berbagai rasa. Tapi hari-hari yang kulalui sekarang tidak terasa begitu pahit lagi. Meskipun terkadang masih terpikir olehku apa kabar ayah didesa tapi aku yakin dirinya tidak akan memperdulikanku apalagi mencariku.
Waktu terus berjalan , aku pun semakin ahli dalam mengelolah kopi dan Bu Rasti menyekolahkanku kembali di salah satu sekolah terbaik. Hubunganku semakin baik dengan dirinya bahkan aku juga menganggap kalau dia seperti ibu yang tidak pernah kupunya. Pada akhirnya telah 15 tahun terlewati sejak aku pergi dari rumah. Aku telah mencapai kesuksesan di umurku yang 30 tahun ini serta memiliki calon pendamping hidup. Segalanya terasa begitu sempurna, aku di percaya oleh bu Rasti untuk mengelola cabang-cabang cefenya yang baru. Calon istriku juga seorang yang baik dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Meskipun begitu, masih terpikir olehku bagaimana kabar bapak didesa. Selama sepekan terakhir pikiran itu terus mengganggu di kepalaku. Pada akhirnya bu Rasti bertanya kepadaku karena pekerjaanku kurang baik belakangan ini. “Nak Ardi, kamu kenapa ? lagi ada masalah ?” tanya bu Rasti halus ketika kami sedang makan malam. “Gak bu, hanya masalah kecil” aku memberi alasan agar tidak ditanyakan lebih lanjut. Sayangnya bu Rasti bukan tipe yang gampang menyerah. Dia terus memaksa agar aku menceritakan segala hal yang menggangguku. Akhirnya aku menyerah dan menceritakan segala hal yang sebenarnya 15 tahun yang lalu. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya setelah dia mendengar cerita ini tapi aku rasa memang sudah waktunya berkata jujur.
“Nak Ardi, besok kamu pergi kunjungi bapakmu” itulah respon Bu Rasti. Awalnya aku bimbang dan berkata kepada bu Rasti kalau ayah membenciku tapi dia meyakinkan diriku kalau itu hanyalah pikiranku semata. Akhinya aku menyerah dan keesokan harinya pergi menuju kedesa. Banyak hal yang telah berubah dari desa ini sejak terakhir kali aku pergi. Rumah penduduk pun bertambah banyak tapi ada hal yang tidak berubah. Terlihat olehku warkop ayah masih berdiri hanya saja dalam kondisi yang sudah sangat tua. Seperti tidak di buka selama bertahun-tahun, rumput liar tumbuh bebas di sekitaran warkop kecil itu. Aku pun segera bergegas ke rumahku untuk melihat kondisi ayah. Entah apa yang memburuku namun suara hatiku menyuruh untuk bergegas. Sesampai dirumah yang kutinggalkan selama 15 tahun itu kulihat pintunya terkunci dari luar. Ku ketuk pintu rumah ayahku namun tidak ada jawaban. Tetangga sebelah keluar dari rumahnya untuk melihat  siapa yang mengetuk begitu kerasnya.
“Pak permisi boleh tahu cari siapa ya ?” tanya Bu Sari yang merupakan tetangga lamaku. Tidak banyak yang berubah dari dirinya selain rambut yang beruban termakan oleh umurnya. “Bu Sari, ini saya Ardi. Ibu lihat ayah saya pergi kemana ?” tanyaku kepadanya sambil meyakinkan diriku. Dengan reaksi kaget Bu Sari seolah tidak percaya kalau itu aku. Dirinya pun mulai mengeluarkan air mata dan mengajakku masuk kedalam rumahnya. Dia masuk kedalam kamarnya mengeluarkan sebuah amplop kuning lusuh yang terlihat sudah begitu tua nampak seperti sudah bertahun-tahun. Kemudian Bu Sari mulai bercerita apa yang terjadi sejak aku meninggalkan desa ini. Tanpa kusadari ayahku telah meninggal 3 tahun yang lalu karena sakit. Serta selama 12 tahun lamanya ayah menunggu tiap malam di batas desa berharap aku untuk pulang. Berusaha menyangkal itu aku berkata “bu, jika ayah benar merindukan saya kenapa dia tidak mencari saya ?”. Bu Sari menggeleng tidak tahu dan hanya menyerahkan amplop coklat itu kepadaku. “Semoga isi amplop ini bisa menjawab pertanyaanmu Ardi”. Dirinya berlalu pergi meninggalkan aku dan amplop itu di ruang tamu. Dengan gemetar aku membuka amplop itu menemukan surat tanah dan rumah , sebuah kunci, dan sepucuk surat. Di dalam surat itu terlihat tulisan ayah. Isi surat itu membuatku menangis dan begitu menyesal pada saat itu juga.


Kepada anakku Ardi,
Ardi jika kamu membaca surat ini berarti ayah mungkin sudah tiada. Ayah hanya ingin meminta maaf atas segala hal yang telah terjadi selama ini. Mungkin ayah mendidik kamu terlalu keras dan tidak seharusnya seorang ayah memperlakukan anaknya seperti itu. Di saat anak seumuranmu bermain , ayah menyita waktumu untuk bekerja membantu di warkop. Di saat anak seumuranmu menikmati waktu mereka bersama keluarga malah ayah membuatmu semakin membenci keluarga ini. Yang harus kamu ketahui , kamu bukan anak yang tidak berguna melainkan anak yang hebat. Ayah telah salah mendidikmu bahkan kejadian pada malam itu masih terus menghantui ayah. Perasaan bersalah ini mungkin tidak akan pernah menggantikan segala sakit hati yang kamu rasakan. Tapi ayah harap kamu juga mengerti kenapa ayah tidak pernah memenuhi keinginanmu. Sebagai orang tua, ayah ingin meninggalkan sesuatu untukmu sewaktu pergi dari dunia ini. Ayah membelikanmu sebuah lahan untuk menanam kopi. Ini saja yang dapat ayahmu lakukan, sebagai orang tua. Sekali lagi harap maafkan ayahmu ini.         
Salam, Ayah


Akhirnya aku sadar kenapa keinginanku tidak pernah di penuhi sejak kecil. Ayah ingin membelikanku sebuah lahan agar nantinya aku dapat lebih sukses lagi. Aku bertanya kepada Bu Sari dimana ayah di makamkan. Pada hari itu aku langsung segera ke makamnya. Membayangkan segala hal yang telah terjadi hingga titik ini membuatku menangis. Betapa menyesalnya aku sebagai seorang anak tidak dapat mengantar pergi dirinya pada saat terakhirnya. Aku merasa seperti anak yang durhaka selama 15 tahun tidak pernah mengunjunginya sekalipun. Tapi segala hal yang terjadi merupakan kenangan dan pelajaran , itu yang kuyakini. Pada waktu itu aku terganggu oleh pikiran kondisi ayah pasti merupakan kehendak Tuhan untuk menyadarkanku. Sejak kejadian itu aku pun mengelola lahan yang di berikan ayah sebagai warisan terakhirnya. Serta dengan modal yang telah ku kumpulkan selama 15 tahun , aku pun membuka cafe dengan nama warkop yang di gunakan ayah dulu. Cafe Pak Bagus . Bersama dengan bantuan Bu Rasti warkop modernku ini berhasil sukses dan membuka cabang di seluruh nusantara. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.